Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
simple me, fun, fat (berharap bsa cepet kurus)


Rabu, 29 Februari 2012

PENGARUH MUSIK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK USIA DINI

Minggu, 20 Maret 2011

 


Mata kuliah dosen pembimbing
Musik AUD Asri.M.sn

PENGARUH MUSIK TERHADAP PERKEMBANGAN
SOSIAL ANAK USIA DINI

Di susun
O
L
E
H

Kelompok 8
REZA ROSITA
NOVI YANTI
PUTRI PERDANA
LEDI DIANA
GUSNIATI
MUSPITA HAYATI

PROGRAM STUDIS1.PG-PAUT
STKIP AISYIYAH RIAU
TAHUN AJARAN 2011




KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum.wr.wb

Saya pujibagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya . shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad SAW yangtelah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang, sehingga penilis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PENGARUH MUSIK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL ANAKUSIA DINI”
Segala upaya penulis curahkan dalam pembuatan makalah ini, karena penulis berharap dapat membuat suatu makalah yang baik dan berguna bagi kita semua.
Penulis menyadari, makalah ini jauh dari kesempurnaan , baik dari segi tata bahasa maupun penjelasannya. Oleh karena iyu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya demi kesempurnaan makalah ini . atas kritik dan sarannya, penulis ucapkan terimakasih.

Pekanbaru, ……. Maret 2011
Wasalam


Penulis











DAFTAR ISI
Kata pengantar ………………………………………………………………………………………………………………………………
Daftar isi ………………………………………………………………………………………………………………………………………..
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………………
A. LATAR BELAKANG …………………………………………………………………………………………………………..
BAB II. PEMBAHASAN …………………………………………………………………………………………………………………….
A. MUSIK ……………………………………………………………………………………………………………………………
B. PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL PADA AUD ……………………………………………………….
C. PROSES PERKEMBANGAN SOSIAL PADA AUD ………………………………………………………………..
D. PERKEMBANGAN KEMAMPUAN SOSIAL DI PRA SEKOLAH …………………………………………….
E. PENGARUH MUSIK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL AUD ……………………………………..
BAB III. PENUTUP …………………………………………………………………………………………………………………………..
A. KESIMPULAN …………………………………………………………………………………………………………………
B. KRITIK DAN SARAN ………………………………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………………………….















BAB I
PENDAHULKUAN
A. LATAR BELAKANG
Musik harus dikenalkan sedini mungkin pada anak, bahkan sejak dalam kandungan, anak perlu diransang dengan jernis music yang dapat mengembangkan kecerdasannya, yaitu jenis music clasik. Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan music akan lebih bekambang kecerdasan emosionalnya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan music.
Pengenalan music sejak dini pada anak sungguh tak terlalu popular di Indonesia. Pada umumnya, pemdidikan music untuk anak dikerjakan tanpa melalui proses yang runtut. Sebelum anak-anak mengenal music, mereka sudah lansung dihadapkan dengan sebuah instrument music. Hal ini bagaikan masuk SD tanpa melalui TK terlebuih dahulu.
Setiap anak berhak mendapat latihan kepekaan music , bukan semata - mata untuk menjadi mereka pemusik, tapi karena music dapat melatih kepekaan mereka terhadap seni pada umumnya, serta meningkatkan kepercayaan diri maupun kepercayaan terhadap lingkungan. Hasil riset menunjukkan bahwa anak normal maupun anak khusus menunjukkan reaksi yabg sama terhadap music, bahkan secara fisik,inderawi, intelektual, maupun emosional.
Anak dapat dilatih kepekaan musiknya, dan diransang kemampuan menerima music dengan bernyanyi, bergerak ( menari) , bermain alat music sederhana , berekpresi, dan berimajinasi, mengenal ritme, mengenal nada, mengenal bermacam alat music,maupun berkenalan dengan pemusik propesional.
Bermain sambil mengenal alat music adalah cara baru yang akan membuat anak mencintai music, mampu berkreasi,peka terhadap seni (khususnya music), peka terhadap lingkungan,percaya diri tampil dimuka umum/dipanggung, berdasarkan pengalaman dan penelitian, kita tahu bahwa dengan melatih kepekaan musical anak - anak down syindrome kit adapt membantu mereka untuk menjadi pribadi mandiri, memperbaiki control motoris, meningkatkan kemempuan bahasa dan berbicara sekaligus mengontrol emosi onal dan perkembangan social mereka.
Tapi terkadang orang tua sering kali berangapan bidang music tidak bias menjamin masa deapn. Olehkarena itu orang tua lebihn cenderung mengarahkan anak pada bidang –bidang ilmu kognitif dan beranggapan bahwa dengan menguasai ilmu kognitif sesorang mudah mencapai keberhasilan serta derajat terpandang dalam masyarakat. Padahal sebetulnya dengan music anak akan dapat mencurahkan pikiran, rasa dan karsa dalam aktivitasdnya .





BAB II
A. MUSIK MUSIK
Kita mungkin menyadari bahwa memang pendidikan musik sampai pada saat ini masihmenjadi suatuhal yang baru bagi kita yang hidup di negeri tercinta ini. bagi para masyarakat dan para pemangku kebijakan, musik bukan merupan suatuhal yang pentung, musik hanya sebagai hiburan, musik hanyalah pengisi waktu bagi anak - anak. Music tidak akan memberikan kontribusi untuk kehidupan masa datang , music tidak akan memberikan suatu propesi yan g menjanjikan.bahkan dilingkungan sekolahpun masih banyak nyang menganggap bahwa music bukan suatu mata pelajaran yang begitu pentung.
Banyak guru dan orangtua anak, baik itu yang belajar di sekolah pormal atu pun informal yang memandang sebelah mata tentang pendidikan music . sehingga apabila anaknya memiliki kekurangan pada mata pelajaran tertentu maka orang tua menganggapnya “kurang pandai”, tetapi bila anak memiliki nilai bagus pada mata pelajaran seni music, orang tua menganggap hal tersebut bukan luarbiasa, padahal anak tersebut mempuyai potensi yang bias dikembangkan lebih lanjut. Disinilah perlunya kesadaran guru dan oang tua untuk mengetahui potensi apa yang terdapat pada anaknya.
Padahal, apabila ditelaahlebih lanjut, menurut parah ahli, pendidikan music merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas, pendidikan music juga dapat menjadi sarana pendidikan efektif untuk mengeluarkan emosi anak, selain itu, pendidikan music dapat memnjadi pendidikan kererampilan. Jadi, secra conceptual pendidikan music sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak.
B. PENGERTIA PERKEMBANGAN SOSIAL PADA AUD
Secarah fitrah manusia dilahurkan sebagai makluk social . Horloc ( 1978 : 250) berpendpat bahwa perkembangan social merupakan perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tutmtutan social. Sedangkan Erik erikson melihat perkembangan social pada anak terkait dengan kemampuan mereka dalam menagtasi krisis atau konflik yang terjadi pada setiap perpindahan tahap agar agar siap menghadapi berbagai permasalahan yang akan di jumpai nya di kehidupan mendatang.
Perkembangan social yang terjadi pada anak bersipat dinamis dan sangat di pengaruhi oleh lingkungannya. Setiap tahapan perkembangan mereka menunjukkan ciri tersendiri pada kemamuan social nya yang akan menjadi bagian penting dalam perkembangan selanjutnya. Seperti hal nya bahwa kompetensi perkembangan social yang di harapkan dari anak pra sekolah tentu berbeda dengan anak di usia SD. Meskipun sangat di pahami nahwa kematangan anak dalam mengembangkan kemampuan sosisal nya di harapkan akan member dampak pengetahuan social mereka di SD. Anak usia dini sama dengan orang dewasa dalam hal sebagai makhluk social. Anak senang di terima dan berada bersama dengan teman sebayanya. Kebersama ini membuat mereka saling bekerja sama dalamsalam membaut renca dan menyekesaikan pekerjaan nya.
Biasanya dalam kebersamaan mereke saling memberikan semangat dengan sesama temannya. Anak membangun konsep diri melaui interaksi social di sekolah. Karena sekolah adalah tempat di mana meraka akan membangu kepuasa melalui penghargaan diri

C. PROSES PERKEMBANGAN SOSIAL PADA AUD
Untuk menjadi individu yang bermasyarakat di perlukan 3 proses sosialisasi. Ke 3 proses ini berhubungan satu dengan yang lain nya. Sebagai mana di kemukakan oleh Hurlock, ketiga proses sosialisasi tesebut di jabarkan sebagai berikut :
a. Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat di terima masyarakat
b. Belajar memainkan peran social yang ada di masyarakat
c. Mengembangkan sikap atau tingkah laku social tehadap individu lain dan aktivitas social yang ada di masyarakat
Perilaku sosial anak pada dasarnya di awali dengan adanya contoh atau model yang di lihat oleh anak,mungkin saja perilaku yang di tunjukkan oleh orang tua,kakak,pengasuhnya,acaradi TV.kerbat,teman atau orang-orang yang ada di sekitar nya. Tahpan berikut nya adalah peniruan perilaku yang di lakukan anak berdasarkan contoh yang di lihatnya tersebut.kemudian jika prilaku yang ditiru oleh anak tidak mendapat respon dari orang tua mereka hal tersebut dapat menjadi rutinitas atau prilaku yang dianggap biasa. Hingga akhirny perilaku tersebut terinternalisasi dalam diri anak dan menjadi pembentukan karakter pada dirinya.

Dalam sudut pandang psikologis, dapat pula kita lihat bahwa proses perkembangan social anak erat kaitannya, dengan perkembangan emosi anak, dan sebaliknya kecerdasan emosi akan lebih terungkap secara factual jika digali melalui perilaku social dan kehidupan anak, menurut Goleman (2001) kemampuan social emosi merupakan suatu kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi sehingga dapat merespon dengan baik setiap kondisi yang meransang munculnya emosi – emosi tersebut dalam kehidupan sehari – hari sehingga manusia terutama anak dapat menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan social.dengan demikian dapat terlihat bahwa, proses perkembangan social anak sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Lingkungan, proses pembelajaran dan interaksi, serta aspek – aspek perkembangan yang lain saling terkait dengan member dampak pada perkembangan anak.

D. PERKEMBANGAN KEMAMPUAN SOSIAL DI PERSEKOLAHAN
Ketika anak di usia persekolahan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, mereka semakin menjadi mahluk social. Tumbuh dan kembang fisiknya memungkinkan mereka untuk bergerak kian kemari secara mandiri dan mereka ingin tahu tentang lingkungan mereka dan orang – orang didalamnya. Yang akrab dan yang tidak. Anak- anak pra sekolah memperlihatkan minat yang semakin besar terhadap anak – anak lain dan orang – orang dewasa.media untuk mengembangkan aktivitasnya dengan bermain bersama akan menimbulkan kebutuhan pada mereka untuk bermain rukun dan jujur. Ini lah keterampilan – keterampilan yang dibutuhkan anak – anak guna membantu perkembangan mereka. Maka bermain dan kegiatan bersama seringkali menjadi aspek penting dari perkembangan social bagi anak usia prasekolah.
Mengembangkan hubungan social merupakan tonggak penting bagi anak prasekolah. Bagi banyak anak, pengalaman sekolah akan menjadi pertama kali mereka harus membicarakan kesepakatan dengan sebuah kelompok anak – anak sebaya mereka. Bila konflik benar – benar muncul, maka mereka ingin memecahkannya, tetapi tidak memiliki kemampuan perbal untuk melakukan itu. Namun sejalan dengan dan fisik motoriknya member peran dalam beberapa keterampilan sosialnya.
menjelang memasuki usisa SD keterampilan social anak semakin baik, bahkan mulai menghayati peraturan social.pada usia ini, persahabatan menjadi lebih jelas fungsinya dalam hal ini, anak semakin dapat memehami bahwa mereka sangat bergantung pada keberadaan orang lain dan sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kepentingan pribadi dan memperhatikan beberapa kepentingan orang lain atu kepentingan bersama. Syamsu yusuf (2001) memaparkan beberapa keterampilan perilaku social yang diharapkan muncul pada usia prasekolah atau yang biasa digolongkan ke dalam aspek kemampuan membina hubungan denganorang lain.
E. PENGARUH MUSIK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL AUD
Musik juga membantu anak menyesuaikan diri secara social. Anak – anak yang mendengarkan music popular cenderung memiliki lebih banyak teman dan mencapai status social yang lebih tinggi di sekolah. Sebuah refrensi bersama untuk gaya music tertentu dapat berfungsi sebagai dasar dari persahabatan.mendengar music popular membantu anak – anak merasakan rasa memiliki, selain menciptakan identitas indipidu.
Music memainkan peran penting dalam tahap perkembangan anak. Berpartisipasi dalam ansambel music bias mengajarkan anak bagaimana berkerjasama dalam sebuah tim guru dan terapis dapat menggunakan aktivitas music untuk mendorong interaksi social yang positif antara anak – anak kinerja music juga dapat memupuk harga diri anak – anak yang pada gilirannya dapat memiliki dampak positif pada keterampilan socialnya.
Music adalah alat untuk berinteraksi atau berhubungan yang alami. Music menyajikan dan membantu kita berinteraksi satu sama lain, seperti halnya bagian dari kegiatan social. Seseorang akan merespon bila ada memainkan atau memutar music, ia akan bergoyang, bergerak, mengetuk – ngetuk meja (sesui dengan irama yang ditangkapnya, dan menggelengkan kepala.
Bernyanyi atau bermain music bersama – sama akn membuat anak – anak berinteraksi secara wajar dan mengembiarakan, pada kesempatan ini, mereka akan menciptakan aspek - aspek penting yang berguna bagi life skillnya ( pendidikan kecakapan hidup), seperti kerja sama, kola borasi, tugas – tuga kelompok, bentuknay bias berupa bunyi sambil berpegangan tangan membentuk formasi tertentu, misalnya bermain ular – ular sambil benyanyi “ular naga”. Pada permainan ini dua orang anak berdiri berhadap – hadapan sambil berpegang tangan yng di angkat keatas, lalu sekelompok anak berbaris saling berpegang pundak dengan kedua tanganny, berjalan mengikuti irama kea rah bawa (terowongan) dari tenngah – tengah dua anak yang berpegang tangan mereka bergerak berputar memutari seorang anak yang berpegang tangan tadi lalu kembali melewati terowongan yang sama. Begitu seterusnya sambil bernyanyi lagu – lagu ular naga – naga bersama – sama sampai pada bagian akhir menagkap anak yang berada paling belakang dari barisan ular tersebut. Aktivitas ini sangat membantu guru dalam menyemangati anak yang mengalami kesulitanuntuk berinteraksi. Pengalaman bermusik akan memberikan motivasi dan konteks bagi keterampilan anak – anak berinteraksi.






BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Musik merupakan bahasa yang univerbal, karena music mampu dimengerti dan dipahami oleh setiap orang yang dari manapun di duni ini. Tidak bias di hindari lagi bahwa music telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Selain itu, music juga mempunyain peranan yang sangat penting dalam perkembangan kedisiplinan dan karakter anak usia dini.walaupun dewasa ini, banyak orang tua yang tidak pedulim dan tidak mengetajui akan pentingnya music terhadap perkembangan social anak.
Dari penjelasan diatas, ternyata pendidikan music sangat penting untuk perkembangan anak dimasa depan.pendidikan music tidak lagi sebagai mata pelajaran tambahan yang sewktu – waktu bias saja dihilangkan atau hanya sekedar pengisi waktu luang bagi anak – anak, bukankah pendidikan itu merupakan sesuatu hal yang penting untuk menolong siswa dalam mengembangkan intelektual, emosional dan potensi – potensi yang ada dalam diri mereka. Hal inio merupakan tugas para guru dan orang tua untuk meujutkan hal tersebut , maka pendidikan music adalah pendidikan penting dann efektif untuk meujudkan hal itu. Walaupun sampai pada saat ini masi diragukan dn di kesampingkan.
b. KRITIK DAN SARAN
Demikian lah hasil makalah kami ini mudah - mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pemakalah, dan kami mengharapkan kritik maupun saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.












DAFTAR PUSTAKA
Facmi,Tetti,2009.keterampulan music dan tari
Jakarta : universitas terbuka

MENGENAL KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK USIA DINI

by NUR ARDISTI on Rabu 18 Jan 2012 01:26 PM
Mengenal Kecerdasan Emosional pada anak usia dini

Anak adalah aset yang amat berharga bagi orangtua sekaligus sebagai investasi nyata di masa mendatang. Setiap anak yang dilahirkan, telah membawa karakter dan sifatnya sendiri. Termasuk juga telah membawa kecerdasan intelektual yang dikenal sebagai Inteligent Question dan kecerdasan emosional yang dikenal sebagai Emotional Question. Keduanya akan sanagat mempengaruhi kepribadian, bahkan dapat juga mempengaruhi keberhasilan atau kegagalannya. Orangtua bersama para pendidik dan lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu anak mengembangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya tersebut.
Kapasitas kecerdasan anak dimulai sejak usia dini. Jauh di bawah usia sekolah. Hasil penelitian Depdiknas menyebutkan pada usia 4 tahun, kecerdasan anak mencapai 50 persen. Sedangkan pada usia 8 tahun kapasitas kecerdasan anak yang sudah terbangun mencapai 80 persen. Kecerdasan baru mencapai 100 persen setelah anak berusia 18. Karena itu, pendidikan pada usia dini sangat penting untuk membantu anak mengembangkan kecerdasannya.
Sayangnya, pendidikan usia dini justru belum banyak mendapat perhatian banyak pihak. Hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru 31,4 persen dari 11,5 juta anak usia 0–6 tahun yang mendapat pendidikan. Padahal, pendidikan anak dini usia merupakan investasi untuk menyiapkan generasi penerus yang sehat, cerdas, dan ceria.
Ada persamaan persepsi di kalangan ahli pendidikan di seluruh dunia tentang kesiapan anak untuk belajar saat memasuki jenjang pendidikan dini. Mereka menekankan betapa pentingya pendidikan prasekolah. Perluasan pendidikan yang mulai digalakkan untuk pendidikan prasekolah sudah saatnya menjadi salah satu program pembangunan pendidikan.
Berbagai penelitian juga menyimpulkan, perkembangan yang diperoleh pada masa usia dini sangat memengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasanya. Pendidikan dini bukan hanya memiliki fungsi strategis, tetapi juga mendasar dan memiliki andil memberi dasar kepribadian anak dalam sikap, perilaku, daya cipta dan kreativitas, serta kecerdasan kepada calon-calon SDM masa depan. Para ahli teori perkembangan menyebut usia dini sebagai the golden age (masa emas). Sejak lahir anak memiliki lebih kurang 100 miliar sel otak, sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan didayagunakan agar terus berkembang jumlahnya. Pertumbuhan otak anak ditentukan bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberikan makan serta memberikan stimulasi pendidikan.
Dari aspek pendidikan, stimulan dini sangat diperlukan guna memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek perkembangan anak yang mencakup penanaman nilai-nilai dasar (budi pekerti dan agama), pembentukan sikap (disiplin dan kemandirian), dan pengembangan kemampuan dasar (berbahasa, motorik, kognitif, dan sosial). Ketika anak memasuki fase keemasan (0–5 tahun), ia membutuhkan proses pendidikan yang mengarah pada perkembangan intelectuall quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ) secara seimbang dengan berbagai metode.
Para pakar ilmu sosial sebenarnya masih beragumentasi mengenai apa sesungguhnya yang membentuk IQ seseorang. Tapi kebanyakan profesional setuju IQ dapat diukur dengan suatu alat tes intelegensia standar yang mencakup kemampuan verbal dan noverbal, termasuk daya ingat, bahasa, pemecahan masalah, konsepsi, persepsi, pengolahan infomasi, dan kemampuan abstraksi. Namun, semua hasil tes ini bersifat temporer. Hasil tes IQ yang baik juga bergantung beberapa hal, misalnya latihan stimulasi dan kondisi fisik yang dialami anak. Di sisi lain, perilaku, kesehatan mental, pendidikan dan nilai yang dianut ibu, faktor keluarga, dan perkembangan usia juga memungkikan perolehan hasil yang baik.
Pada perkembangannya, IQ tinggi bukan menjadi jaminan keberhasilan seorang anak kelak. Karena tes IQ yang merupakan cikal-bakal pengukur kecerdasan itu hanya mengukur kapasitas logika dan bahasa atau verbal anak. Bahkan, para ahli memperkirakan IQ hanya menyumbang 20 persen dari keberhasilan seseorang menjalani profesinya setelah lulus sekolah. Apalagi setelah lahir teori multiple intellignece atau kecerdasan ganda yang dikemukakan Howard Gardner.
Teori yang didasarkan atas berbagai penelitian ilmiah dari berbagai ilmu pengetahuan, dari psikologi sampai antropolodi dan biologi ini memformulasikan tujuh jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, logika-matematika, kinestetik, spasial, bermusik, interpersonal dan intrapersonal.
Melalui penemuannya ini Gardner menyatakan semua manusia memiliki seluruh kecerdasan ini, tapi tidak ada dua orang yang sama, walau kembar sekalipun, dan ini terjadi berkat pengaruh genetik dan lingkungan yang berbeda pada setiap orang.
Walaupun begitu, anak yang cerdas tak melulu cerdas kognitif (IQ). Tanpa kecerdasan emosional (EQ), anak sulit mengembangkan kepribadiannya.
Berbagai penelitian dalam bidang psikologi anak membuktikan anak-anak dengan kecerdsaan emosional yang tinggi adalah anak-anak yang bahagia, percaya diri, populer, dan lebih sukses. Mereka lebih mampu menguasai gejolak emosinya, menjalin hubungan yang manis dengan orang lain, bisa mengatasi stres, dan memiliki kesehatan mental yang baik.
Dengan demikian, terbukti kecerdasan emosional diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah dalam hidup ini dan menjadi dasar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab, penuh perhatian, dan cinta kasih serta produktif.
Terakhir, cerdas spiritual, yaitu landasan dari seluruh kecerdasan. Karena anak yang saleh (cerdas spiritual), dia pasti cerdas. Sementara anak yang cerdas belum tentu saleh. Dalam hal kesalehan ini yang perlu dilakukan orangtua adalah bagaimana agar anak memiliki akhlakul karimah seperti Rasulullah saw., yang memiliki sifat sidik, tabligh, amanah, dan fatonah.
Untuk mendorong perkembangan kecerdasan anak secara optimal, orangtua berperan penting dalam memberikan stimulasi. Karena di usia balita anak banyak menghabiskan waktu di lingkungan rumahnya, orangtua harus lebih kreatif memanfaatkan kondisi keseharian sebagai media belajar anak.
Apa yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu pembentukan IQ si kecil? Idealnya memang, sejak kehamilan ibu sudah memperhatikan asupan nutrisi dan stimuli-stimuli dari luar yang dapat berpengaruh pada perkembangan otak si kecil.
Perlu diketahui, perkembangan sel otak terpesat pada anak terjadi pada masa balita, sehingga pada masa ini sering disebut masa keemasan anak. Untuk itu, selain pengalaman indra yang merangsang aktivitas dan mematangkan kerja otak, anak juga memerlukan nutrisi yang tepat untuk tumbuh kembang otaknya.
Alternatif lain yang disarankan ahli adalah memperdengarkan musik klasik sejak bayi dalam kandungan hingga usia balita. Penelitian menunjukkan mendengarkan atau belajar musik, terutama musik klasik bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan berbicara, pendengaran, rasa percaya diri, kemampuan koordinasi, bahkan mengoptimalkan kecerdasan anak.
Sementara itu, stimulasi dalam pengembangan kecerdasan mental dan emosional bisa dilakukan orangtua dalam setiap aspek kehidupan anak. Apa yang alami dalam kehidupan sehari-hari akan menentukan bagaimana anak bersikap, bertingkah laku, termasuk pola tanggap emosi. Semua pengalaman emosi di masa kanak-kanak dan remaja akan membentuk sirkuit penentu kecerdasannya. Tanggapan, belaian, maupun bentakan yang menyakitkan dan sebagainya akan masuk ke gudang emosi yang berpusat di otak.
Dalam membantu perkembangan kecerdasan emosional anak, orangtua setahap demi setahap dapat merekayasa pengalaman-pengalaman yang dapat membesarkan hati anak dan memungkinkan koreksi atas temperamen anak. Agar anak mampu mengontrol emosinya dan menjaga agar tindakannya tidak dikendalikan emosi semata, anak harus diajarkan memahami apa yang yang diharapkan dari dirinya. Si kecil juga harus mengerti tiap tindakan membawa konsekuensi baik pada dirinya maupun orang lain. Makin sering anak berlatih mengelola emosi, seperti meredakan marah atau kecewa, makin inggi kemampuannya mengelola emosi.
Selain itu, orangtua juga perlu berhati-hati karena seperti juga kecerdasan kognitif, kecerdasan emosi merupakan kondisi yang netral secara normal. Jadi, hendaknya orangtua selalu menggunakan “kompas moral” dalam membimbing si kecil.

Pengertian Kecerdasan Emosional

Definisi kecerdasan emosi pertama kali disebutkan dalam majalah Time edisi Oktober 1995 oleh psikolog Peter Salovey dari Universitas Yale dan John Mayer dari Universitas Hampshire. Kecerdasan emosi adalah sebuah konsep untuk memahami perasaan seseorang, memahami empati seseorang terhadap perasaan orang lain dan memahami “bagaimana emosi sampai pada tahap tertentu menggairahkan hidup” (Kumpulan artikel Kompas, 2001: 181). Namun konsep kecerdasan emosi baru memasuki forum public setelah psikolog Danrel Goleman dari Universitas Harvard dalam buku
“Emotional Inteligence” (1994) menyatakan bahwa “Kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan emosional”. (Kumpulan artikel Kompas, 2001: 182).
Kecerdasan emosional (EQ) adalah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Memang ada temperamen khusus yang dibawa seorang anak sejak ia dilahirkan, tetapi pola asuh orang tua dan pengaruh lingkungan akan membentuk “cetakan emosi seorang anak yang akan berpengaruh besar pada perilakunya sehari-hari” (Bambang Sujiono dan Yuliani Nurani Sujiono, 2005: 115).


Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi

Menurut Elisabeth B. Hurlock dalam bukunya “Perkembangan Anak Jilid I” (1997: 214) menjelaskan metode belajar yang menunjang perkembangan emosi sebagai berikut :
a. Belajar secara coba-coba
Anak belajar secara coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
b. Belajar dengan cara meniru
Anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.
d. Belajar melalui pengkondisian
Dalam metode ini obyek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi.
e. Pelatihan
Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan terbatas pada aspek reaksi yaitu reaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Peran orang tua, guru dan lingkungan sekitar sangat menentukan dalam proses belajar anak. Mereka harus sabar dan menjadi tauladan bagi anak-anak mereka. Apabila anak melakukan hal-hal yang positif maka orang tua tidak segan-segan memberikan pujian.

Prinsip-prinsip mengasuh anak dengan kecerdasan emosi

Ada lima prinsip mengasuh anak dengan yang menjadi tujuan bagi orang tua dan anak. Berusaha mencapai tujuan tersebut akan menciptakan keluarga yang harmonis dan membuat anak-anak tumbuh dewasa dengan disiplin diri dan tanggung jawab (Maurice J. Elias, 2000: 39).
1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain.
Perasaan adalah sesuatu yang sulit disadari.
2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain.
Empati adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Untuk dapat melakukan hal ini, seorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupun perasaan orang lain.
3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilakunya.
4. Berorientasi pada tujuan dan rencana positif.
Salah satu hal terpenting tentang manusia adalah dapat menetapkan tujuan dan membuat rencana untuk mencapai tujuan. Teori kecerdasan emosional menyatakan bahwa hal ini memiliki implikasi penting yaitu Mengakui kekuatan ampuh optimisme dan harapan, Dalam berusaha mencapai tujuan ada waktu-waktu ketika lebih atau kurang efektif, Orang tua dapat memperbaiki cara dalam penetapan dan perencanaan tujuan sebagaimana menghendaki anak-anak melakukannya.
5. Gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan.
Contoh kecakapan sosial yaitu komunikasi dan pemecahan masalah. Sebagai orang tua harus memberikan kebebasan kepada anak untuk bergerak. Namun orang tua tetap mengontrol anak walaupun tidak terlalu ketat. Selain itu orang tua dapat memahami perasaan anak, apakah anak sedang sedih atau senang.


Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini

Menurut Soemiarti Padmonodewo dalam bukunya “Buku Ajar Pendidikan Pra Sekolah” (1995: 22) menjelaskan karakteristik perkembangan anak usia dini yaitu :
1. Perkembangan jasmani
Ketrampilan motorik kasar dan halus sangat pesat kemajuannya pada tahapan anak pra sekolah. Pada usia 4 tahun anak-anak telah memiliki ketrampilan yang lebih baik, mereka mampu melambungkan
bola, melompat dengan satu kaki, telah mampu menaiki tangga dengan kaki yang berganti-ganti. Sedangkan beberapa anak yang telah berusia 5 tahun telah mampu melompat dengan mengangkat dua kaki sekaligus dan belajar melompat tali. Pada usia 4 – 5 tahun, biasanya mereka sudah mampu membuat gambar, gambar orang. Bentuk gambar orang biasanya ditunjukkan dengan lingkaran yang besar yaitu kepala dan ditambahkan bulat kecil sebagai mata, hidung, mulut dan telinga, kemudian ditarik garis-garis dengan maksud menggambar badan, kaki dan tangan.
2. Perkembangan kognitif
Piaget (1969) menjelaskan perkembangan kognitif terdiri dari empat tahapan perkembangan yaitu tahapan sensorimotor, tahapan pra operasional, tahapan kongkrit operasional dan formal operasional.
Tahapan anak pra sekolah termasuk dalam tahap pra operasional (2 – 7 tahun) yaitu kecepatan perkembangan anak bersifat pribadi, tidak selalu sama untuk masing-masing anak. Pada tahapan pra operasional anak-anak mulai dapat belajar dengan menggunakan pemikirannya. Tahapan bantuan
kehadiran sesuatu di lingkungannya, anak mampu mengingat kembali simbol-simbol dan membayangkan benda yang tidak nampak secara fisik.
3. Perkembangan bahasa
Anak-anak secara bertahap berubah dari melakukan ekspresi suara saja kemudian berekspresi dengan berkomunikasi dan dari hanya berkomunikasi dengan menggunakan gerakan dan isyarat untuk menunjukkan kemauannya, berkembang menjadi komunikasi melalui ujaran yang tepat dan jelas. Anak pra sekolah biasanya telah mampu mengembangkan keterampilan bicara melalui percakapan yang dapat memikat orang lain. Mereka dapat menggunakan bahasa dengan berbagai cara antara lain dengan bertanya, melakukan dialog dan bernyanyi.
4. Perkembangan emosi dan sosial
Pada tahapan ini emosi anak pra sekolah lebih rinci, bernuansa atau disebut terdiferensiasi. Anak-anak perlu dibantu dalam dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya agar mereka secara emosional dapat menyesuaikan diri, menemukan kepuasan dalam hidupnya dan sehat secara fisik dan mental. Dalam periode pra sekolah, anak dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dari berbagai tatanan yaitu keluarga, sekolah dan teman sebaya.


Ciri-ciri Kecerdasan Emosi

Menurut Daniel Goelman dalam bukunya “Emotional Intelligence”, kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya:
1. Internal
a. Pola asuh
1. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif yaitu orang tua seolah bersikap demokratis dan sangat menyayangi anaknya. Namun disisi lain, kendali orang tua terhadap anak sangat rendah.
2. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah peran orang tua sangat dominan. Mereka menanamkan disiplin yang ketat dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapatnya.
3. Pola asuh otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh ini tetap menambah kendali yang tinggi pada anak namun dibarengi dengan sikap demokratis. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan
pendapatnya dan memilih apa yang paling disukainya.
2. Eksternal
a. Teman sebaya
Pada intinya, setiap anak perlu dilatih untuk bersosialisasi dan bekerja sama, kalau kecerdasan emosinya terlatih dengan baik, seorang anak akan berperilaku positif. Misalnya: anak tidak mengganggu teman pada saat bermain.
b. Lingkungan sekolah
Disini yang paling dominan adalah guru. Seorang guru harus bersikap sabar, agar anak dapat bersikap positif.
c. Bermain
Bermain merupakan hal yang esensial bagi kesehatan anak. Bermain akan meningkatkan kerjasama dengan teman sebaya, menghilangkan ketegangan, dan merupakan pengamanan bagi tindakan yang potensial berbahaya.


Sumber :
Kecerdasan dan Kesehatan emosional Anak : Dr. Makmun Mubayidh
Pengaruh Musik Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosi Anak Usia TK : Satrianingsih
http://rawapening.wordpress.com/2009/06/16/membangun-kecerdasan-anak-sejak-usia-dini/
Kiat mengasah kecerdasan emosi Anak : Ellys J.
Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif : Kumpulan Artikel kompas
Versi PDF | Versi DOC

Kamis, 23 Februari 2012

Published with Blogger-droid v2.0.4

Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, 30 September 2011

Depresi dan aktivitas fisik dalam sampel remaja Nigeria: tingkat, hubungan dan prediktor

abstrak
latar belakang

Aktivitas fisik berhubungan dengan morbiditas banyak tapi bukti dari link dengan depresi pada remaja memerlukan penelitian lebih lanjut mengingat ada laporan yang saling bertentangan.

metode

Data untuk penelitian cross-sectional dikumpulkan dari 1.100 remaja berusia 12-17 tahun Nigeria. Simtomatologi depresi dan aktivitas fisik dinilai menggunakan Depression Inventory Anak (CDI) dan Aktivitas Fisik Kuesioner-Remaja versi (PAQ-A) masing-masing. Independen t tes, Momen Korelasi Pearson dan Multi-level analisis regresi logistik untuk pengaruh wilayah individu dan sekolah dilakukan pada data pada p <0,05.

hasil

Rata-rata usia peserta adalah 15,20 ± 1,435 tahun. Prevalensi depresi ringan sampai moderat 23,8%, depresi pasti adalah 5,7% dan aktivitas fisik yang rendah adalah 53,8%. Gejala depresi yang lebih parah itu terkait dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik (r = -0,82, p <0,001) dan aktivitas fisik moderat dikaitkan dengan penurunan risiko gejala depresi (OR = 0,42, 95% CI 0,29-0,71 =). Kemungkinan gejala depresi memiliki lebih tinggi pada remaja yang lebih tua (OR = 2,16, 95% CI 1,81-3,44 =) dan pada wanita (OR = 2,92, 95% CI 1,82-3,54 =). Wanita memiliki risiko lebih tinggi aktivitas fisik rendah daripada remaja laki-laki (OR = 2,91, 95% CI 1,51-4,26 =). Berada di kelas Menengah tiga adalah prediktor signifikan gejala depresi (OR = 3,4, 95% CI 2,55-4,37 =) dan aktivitas fisik yang rendah.

kesimpulan

Sebuah beban yang cukup besar dari depresi dan aktivitas fisik yang rendah ada di antara remaja dipelajari dan ini terkait dengan kedua faktor individu dan sekolah. Studi masa depan harus memeriksa efek dari aktivitas fisik antara sampel klinis remaja dengan depresi.



Pengenalan

Saat ini pengakuan luas dari beban yang sangat besar bahwa depresi memaksakan pada individu, masyarakat dan pelayanan kesehatan di seluruh dunia [1]. Depresi, yang merupakan bentuk paling umum dari masalah emosional yang dialami selama masa remaja, dapat ditandai dengan perasaan sedih, kecemasan, ketakutan, rasa bersalah, kemarahan penghinaan, dan berpikir bingung [2]. Telah terbukti bahwa kebanyakan orang dewasa yang mengalami episode depresi berulang memiliki episode depresi awal sebagai remaja [3,4], menunjukkan remaja yang merupakan masa perkembangan yang penting di mana untuk intervensi [4]. Menurut Dunn dan Weintraub [5], sukses treat ¬ ment depresi remaja adalah penting tidak hanya dalam mengurangi penderitaan, morbid ¬ ity, dan kematian akibat gangguan tetapi juga dalam mencegah perkembangan lainnya yang merugikan jangka panjang psikososial dan kesehatan hasil.

Partisipasi teratur dalam aktivitas fisik tidak hanya menguntungkan remaja dengan memperkuat otot-otot, meningkatkan massa tulang, mempertahankan pengambilan oksigen, mengurangi risiko penyakit kronis jantung dan lainnya, tetapi juga membantu untuk meningkatkan harga diri, meningkatkan kesadaran diri dan mengurangi kecemasan dan stres [ 6]. Meskipun layanan akses dan cakupan pengobatan tetap rendah, ada tumbuh bukti empiris dari berpenghasilan rendah serta negara-negara berpenghasilan tinggi pada efektivitas dan efektivitas biaya dari berbagai intervensi farmakologis dan psikososial untuk mengobati dan mengelola depresi [1]. Namun, meskipun peningkatan dramatis dalam jumlah studi intervensi pada gangguan depresi besar pada remaja dalam 15 tahun terakhir, mayoritas menjadi uji klinis dari obat-obatan dan terapi ¬ tive cogni perilaku, tingkat respons telah sederhana dan angka-angka kesembuhan rendah [5] . Di sisi lain, temuan telah mendukung efek protektif aktivitas fisik pada depresi untuk orang dewasa dan cross-sectional analisis telah menunjukkan bahwa ada asosiasi antara aktivitas fisik dan depresi bahkan ketika penyesuaian dibuat untuk jumlah yang relatif besar variabel pembaur [ 7]. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan berbagai masalah fisiologis dan psikologis pada orang depresi [8]. Terlepas dari semua ini, tidak banyak penelitian eksperimental telah dilakukan untuk mendukung asumsi ini untuk populasi remaja [5,8]. Sebuah langkah awal untuk studi tersebut, terutama di negara berkembang seperti Nigeria, adalah untuk menetapkan prevalensi depresi dan tingkat keterlibatan dalam aktivitas fisik, dan hubungan antara. Pada remaja Norwegia, Sagatun dkk [9] telah melaporkan bahwa gejala emosional pada usia 18-19 adalah berbanding terbalik dikaitkan dengan aktivitas fisik pada usia 15-16 pada kedua jenis kelamin, sementara penelitian yang dilakukan dalam komunitas London Timur menemukan bahwa ada bukti untuk asosiasi cross-sectional antara aktivitas fisik dan gejala depresi untuk kedua anak laki-laki dan perempuan pada awal, dengan penurunan peluang untuk gejala depresi dari sekitar 8% untuk setiap jam tambahan dari latihan yang dilakukan per minggu [10].

Seperti telah terjadi dengan perkembangan yang paling perawatan lain gangguan kejiwaan pediatrik yang juga umum di masa dewasa, perlu untuk extrapo-akhir dari penelitian orang dewasa latihan treat ¬ ment depresi ketika membenarkan perlunya penelitian tentang aktivitas fisik di populasi remaja [5]. Menurut Dunn dan Weintraub [5], hampir semua dirancang dengan baik studi tentang depresi telah dilakukan hanya di populasi dewasa. Selain itu, studi sebelumnya tidak menguji hubungan antara aktivitas fisik dan depresi pada sampel besar remaja dari Nigeria, dan data pada tingkat depresi dan aktivitas fisik tampaknya ragu-ragu. Pada saat ini, penelitian di negara-negara Barat telah mengungkapkan hubungan antara depresi dan aktivitas fisik, namun ini mungkin tidak sepenuhnya mewakili situasi di negara berkembang seperti Nigeria. Hal ini mungkin karena kesenjangan dalam pengetahuan, dan sikap terhadap aktivitas fisik, latar belakang sosial ekonomi, kurikulum pendidikan dan kebijakan yang ada. Penelitian ini mengeksplorasi (1) prevalensi depresi dan tingkat aktivitas fisik, (2) hubungan antara depresi dan aktivitas fisik dan faktor-faktor demografis (3) dipilih yang dapat dihubungkan dengan simtomatologi depresi dan aktivitas fisik yang rendah di antara sampel remaja Nigeria
.
Metode

Studi desain

Penelitian ini adalah survei cross-sectional dari remaja Nigeria dari Pemerintah Daerah Ibadan Lokal Utara Oyo Negara, Barat Selatan Nigeria.

Peserta

Data dari studi cross-sectional dikumpulkan dari remaja perkotaan tinggal sekolah menengah berusia 12-17 tahun. Inventarisasi Depresi Anak (CDI) dan Kuesioner Aktivitas Fisik, Versi Remaja (PAQ-A) yang diberikan pada 1.100 siswa sekolah menengah dari penduduk sekitar 100.000 siswa sekolah menengah di Area Pemerintah Lokal Ibadan Utara Negara Oyo. Ukuran sampel diperkirakan untuk menghasilkan tingkat ketepatan ± 3% pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat variabilitas dari 0,5 [11].

Penelitian ini menggunakan, bertingkat dua tahap teknik sampling untuk memilih peserta untuk studi untuk memenuhi persyaratan ukuran sampel. Tahap pertama adalah pemilihan sekolah dari kedua sekolah menengah swasta dan publik di daerah pemerintah daerah. Di Nigeria, sekolah swasta dan publik beroperasi berdampingan di semua tingkat pendidikan mulai dari primer ke sekunder untuk lembaga pendidikan tersier. Sekolah-sekolah swasta yang dimiliki oleh individu dan manajemen menentukan kesejahteraan siswa dan guru. Di sekolah-sekolah umum, administrasi sepenuhnya oleh pemerintah. Namun, sebanyak mungkin, kedua kelompok sekolah beroperasi kurikulum yang sama. Kecuali untuk alasan khusus, melakukan studi hanya salah satu jenis sekolah tidak akan memberikan gambaran yang benar dari masalah yang diteliti. Sekolah-sekolah namun bervariasi dalam populasi mereka, sekolah-sekolah pemerintah telah siswa lebih dari yang swasta. Pada tahap pertama sampling, sekolah dipilih secara acak berdasarkan probabilitas sebanding dengan jumlah sekolah menengah swasta atau publik. Sebelas sekolah (enam umum dan lima swasta) yang dipilih untuk dimasukkan dalam studi.

Pada tahap kedua, 100 siswa dari setiap sekolah diambil secara acak dari daftar siswa di kelas menengah atas 1-3. Hal ini menghasilkan total sampel 1.100 remaja yang disurvei. Kelas-kelas terdiri dari remaja muda (kurang dari 15 tahun) dan remaja yang lebih tua (15 tahun ke atas) dalam rentang usia 13 sampai 17 tahun. Meskipun tingkat remaja dan kelas penelitian tampaknya sama, namun mereka berbeda. Seorang remaja yang lebih tua biasanya diharapkan dapat ditemukan di kelas yang lebih senior, tetapi situasi ini tidak selalu benar karena ada beberapa situasi ketika remaja muda ditemukan di kelas tertinggi studi dan sebaliknya. Hal ini menjelaskan mengapa dua variabel diperlakukan secara terpisah dalam penelitian ini.

Penelitian ini disetujui oleh Universitas Ibadan Bersama dan University College Hospital Komite Etika Penelitian (Persetujuan ID No: UI/EC/10/0064). Persetujuan tertulis diperoleh dari semua peserta serta orang tua mereka. Persetujuan juga diperoleh dari pengelolaan masing-masing sekolah untuk studi yang akan dilakukan di sekolah masing-masing.

Prosedur pengumpulan data

Sebelum pengumpulan data, para siswa secara resmi diberitahu tentang tujuan penelitian dalam perakitan di aula sekolah, di ruang kelas mereka atau tempat lain yang nyaman. Para siswa juga diberitahu tentang hak mereka untuk menolak partisipasi. Sebelum mengelola PAQ-A dan CDI kuesioner tentang peserta yang dipilih, mereka pra-diuji pada lima siswa dari setiap sekolah dipilih (total 55 siswa) untuk mengidentifikasi daerah potensi kesulitan dalam mengisi formulir. Peserta merasa nyaman dengan semua pertanyaan di CDI, tapi punya masalah terutama dengan kuesioner PAQ-A karena beberapa pertanyaan mencari informasi tentang partisipasi mereka dalam sejumlah kegiatan olahraga yang lebih atau kurang asing bagi mereka. Misalnya, para siswa membutuhkan bantuan dalam memahami kegiatan seperti in-line skating, skateboard, es-skating dan hoki es / ringette. Karena kuesioner diadopsi dari pengaturan lingkungan yang berbeda, hal itu perlu untuk memungkinkan perbedaan dalam pemahaman karena faktor situasional, budaya atau semantik. Selanjutnya kuesioner telah diubah dengan menghapus "aneh" kegiatan olahraga dan menggantinya dengan lebih banyak kegiatan olahraga akrab lokal seperti 1010 dan lakanlaka (ini adalah permainan yang dimainkan dengan satu atau lebih banyak mitra, masing-masing, dan melibatkan melompat / berjalan dan peregangan kaki). Selain informasi yang diperoleh dari PAQ-A dan kuesioner CDI, informasi juga diperoleh pada beberapa karakteristik demografi peserta. Ini termasuk informasi mengenai usia, jenis kelamin dan kelas penelitian.

Penilaian depresi

Depresi dinilai menggunakan CDI yang dikembangkan oleh Maria Kovacs. CDI dirancang untuk mengukur diri dinilai, penilaian berorientasi gejala gejala depresi bagi anak-anak usia sekolah dan remaja. Subscales di CDI termasuk suasana hati yang negatif, masalah interpersonal, ketidakefektifan, anhedonia (ketidakmampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pengalaman biasanya menyenangkan) dan negatif harga diri. Ini mencakup konsekuensi dari depresi karena mereka berhubungan dengan anak-anak dan berfungsi di sekolah dan dengan teman sebaya [12]. Sebuah koefisien reliabilitas 0,86 untuk skala dilaporkan dan ditemukan menjadi alat ukur yang valid bila dibandingkan dengan instrumen lain [13]. Untuk setiap dari 27 item, peserta memiliki tiga kemungkinan jawaban; 0 menunjukkan tidak adanya gejala, gejala ringan yang menunjukkan 1, dan 2 menunjukkan gejala yang pasti. Total skor berkisar 0-54, dengan skor yang lebih tinggi yang mewakili simtomatologi depresi yang lebih parah. Peserta diklasifikasikan menurut cut-off yang diusulkan oleh Kovacs [13], yang meminimalkan risiko positif palsu, dimana CDI skor 0 menunjukkan tidak ada gejala, skor 1-19 menunjukkan 'ringan sampai sedang' gejala depresi dan nilai sama dengan atau 'caseness pasti' di atas 20 mengindikasikan [13-15]. Klasifikasi ini diterapkan karena tidak ada titik cut-off khusus untuk CDI berdasarkan studi yang dilakukan pada remaja Nigeria. Rivera dkk [15] berpendapat bahwa titik cut-off yang lebih rendah biasanya hanya disarankan untuk populasi dimana tingginya tingkat depresi yang diharapkan.



Penilaian aktivitas fisik

Para PAQ-A (sedikit versi modifikasi dari PAQ-C untuk anak-anak) adalah dikelola sendiri, 7-hari instrumen ingat. Ini dikembangkan untuk menilai tingkat aktivitas fisik umum untuk siswa SMA sekitar 13 hingga 19 tahun usia. Ini menilai frekuensi partisipasi dalam kegiatan fisik seperti olahraga atau aktivitas yang membuat peserta keringat atau membuat kaki mereka merasa lelah, atau permainan yang membuat peserta bernapas keras, seperti melompat-lompat, berlari, dan memanjat. Para PAQ-Sebuah informasi juga mencari tentang aktivitas fisik selama waktu luang, masa pendidikan jasmani dan makan siang, serta setelah sekolah, di malam hari dan pada akhir pekan. Sebagai contoh: "Dalam 7 hari terakhir, selama kelas Fisik Pendidikan Anda, seberapa sering Anda sangat aktif (bermain keras, berlari, melompat melempar)?" Peserta merespon pada skala Likert lima poin. A 'skor ringkasan aktivitas fisik' yang dihasilkan dari rata-rata 8 item, dan berkisar dari 1-5, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan partisipasi yang lebih sering dalam aktivitas fisik [16]. Mereka dengan tingkat aktivitas fisik yang rendah adalah mereka yang mencetak antara 1-1,9 pada PAQ-Sebuah instrumen sementara sedang dan tinggi tingkat aktivitas fisik yang direkam untuk mereka yang mencetak antara 2 sampai 3,9 dan 4 sampai 5 masing-masing di PAQ-A. Dalam sebuah studi untuk menetapkan validitas konvergen dari PAQ-A, instrumen itu ditemukan secara signifikan berkorelasi dengan semua laporan diri tindakan (termasuk penilaian kegiatan, r = 0,73; Kenyamanan Waktu Latihan Kuesioner, r = 0,57; dan 7-hari kegiatan wawancara ingat fisik, r = 0,59) [17].

Analisis statistik

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS Versi 15,0 (Chicago, USA) dan Stata versi 10.0 (Texas, AS). Hasil disajikan dengan menggunakan frekuensi dan persentase. Independen t-test digunakan untuk membandingkan mean dan CDI PAQ-A skor antara sekolah swasta dan publik, antara remaja muda dan tua, dan antara peserta laki-laki dan perempuan, sedangkan Analisis Varians (ANOVA) digunakan untuk membandingkan skor yang diperoleh untuk tiga tingkat kelas yang direkrut remaja. Scheffe analisis pasca hoc digunakan untuk menunjukkan daerah signifikansi dalam tiga tingkat kelas. Saat korelasi Pearson digunakan untuk menilai hubungan antara CDI dan PAQ-A nilai sementara koefisien determinasi lebih lanjut (r2) dihitung untuk mengungkapkan jumlah variabilitas dalam tingkat depresi yang aktivitas fisik peserta dapat menjelaskan.

Multi-level analisis regresi logistik dengan siswa bersarang dalam sekolah-sekolah dilakukan. Hal ini dilakukan pada dua tingkat dengan pengaruh individu yang tingkat pertama dan pengaruh sekolah yang tingkat kedua. Variabel tingkat individu termasuk usia, jenis kelamin dan tingkat aktivitas fisik sedangkan tingkat sekolah termasuk kelas studi dan jenis sekolah. Analisis bivariat dilakukan untuk variabel-variabel pada kedua tingkat mengontrol usia dan jenis kelamin. Variabel yang menunjukkan hubungan yang signifikan dalam model bivariat diperkenalkan dalam model multivariabel. Analisis multivariabel awalnya dilakukan secara terpisah untuk tingkat individu dan sekolah. Pengaruh faktor individu dan faktor tingkat sekolah pada depresi dan aktivitas fisik yang rendah secara terpisah dinilai melalui model yang berbeda. Tingkat signifikansi pada p <0,05.

Hasil

Demografis karakteristik peserta

Karakteristik demografi peserta ditunjukkan dalam tabel 1. Sampel terdiri dari 538 laki-laki (48,9%) dan 562 perempuan (51,1%) dengan usia rata-rata keseluruhan 15.20 ± 1,435 tahun. Para 1.100 peserta direkrut dari (SS) kelas Menengah sebelas sekolah sekunder dengan 691 (62,8%) dari mereka dari kelas 2 SS.

Tabel 1. Bio-data dari peserta Tingkat depresi dan aktivitas fisik remaja

Sebagaimana disajikan dalam tabel 2 total 776 (70,5%) dari siswa tidak memiliki gejala depresi (skor nol pada CDI), sedangkan 262 (23,8%) memiliki gejala ringan sampai sedang (skor antara 1 dan 19 di CDI ), dan 62 (5,7%) memiliki gejala tertentu (skor ≥ 20). Tingkat aktivitas fisik dari peserta berkisar dari rendah sampai sedang untuk tinggi dengan 592 (53,8%) memiliki tingkat aktivitas yang rendah fisik. Sebanyak 427 (38,8%) peserta memiliki tingkat aktivitas moderat fisik sedangkan 7,4% melaporkan aktivitas fisik tinggi.
Tabel 2. Tingkat depresi dan aktivitas fisik remaja CDI dan PAQ-A nilai dari remaja


Skor depresi rata-rata (tabel 3) diukur dengan CDI untuk remaja di sekolah-sekolah menengah swasta adalah 14,2 ± 3,5 dan ini jauh lebih tinggi dari skor rata-rata CDI 11,6 ± 4,1 untuk remaja di sekolah umum (t = 11,18, p <0,0001). Skor rata-rata aktivitas fisik diukur dengan PAQ-A untuk remaja di sekolah-sekolah swasta (1,6 ± 0,3) secara signifikan lebih rendah (t = 35,69, p <0,0001) dibandingkan dengan sekolah umum. Laki-laki disajikan dengan signifikan (t = 14,13, p <0,00001) skor depresi lebih rendah dan secara signifikan (t = 71,83, p <0,0001) skor aktivitas yang lebih tinggi fisik daripada betina. Dalam hal klasifikasi peserta berdasarkan usia mereka, mereka diklasifikasikan sebagai remaja yang lebih tua (usia 15 tahun dan lebih) telah secara signifikan lebih rendah berarti skor aktivitas fisik dan skor depresi jauh lebih tinggi dari remaja muda (lebih muda dari usia 15 tahun). Nilai rata-rata untuk aktivitas fisik yang cukup stabil (sekitar 2,4) antara dua kelas yang lebih rendah dari sekolah-sekolah Menengah (SS1 dan SS2) tetapi menurun secara signifikan (F = 80,23, p = 0,003) dengan SS3 yang merupakan kelas yang paling senior di kategori menengah. Analisa post hoc menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam skor rata-rata aktivitas fisik antara kelas SS3 dan masing-masing dua kelas yang lebih rendah.

Tabel 3. PAQ-A dan nilai CDI berdasarkan jenis sekolah, jenis kelamin, tingkat kelas remaja dan studi

Dari tanggapan terburuk diberikan pada CDI oleh masing-masing peserta, kami mengamati bahwa "hari-hari yang paling aku tidak merasa ingin makan" adalah respon (38,6%) yang paling umum dilaporkan oleh para peserta. Hal ini diikuti oleh "hal-hal yang mengganggu saya sepanjang waktu" (26%) dan yang paling adalah "Saya melakukan semuanya salah" (2,5%). Ideation bunuh diri ditandai dengan "Saya ingin bunuh diri" yang disajikan di 101 (9,2%) dari peserta memiliki proporsi yang sama dengan perasaan "Tidak ada yang benar-benar mencintai saya" dan "Semua hal-hal buruk salahku".

Sebuah ringkasan dari frekuensi partisipasi aktivitas fisik oleh remaja pada waktu yang berbeda dalam tujuh hari terakhir dalam seminggu menunjukkan bahwa 27,2% (dari sekolah swasta) dan 14,8% (dari sekolah umum) hampir tidak terlibat dalam kegiatan kuat (seperti bermain keras , berlari, melompat dan melempar) selama sesi pendidikan fisik mereka. Selain makan saat makan siang, 32,1% dan 28,6% dari remaja di sekolah swasta dan publik masing-masing melaporkan duduk (berbicara, membaca dan mengerjakan tugas sekolah) dalam tujuh hari terakhir. Hanya 37,3% dan 44,2% dari remaja di sekolah swasta dan publik menyatakan bahwa mereka cukup sering (sekitar 5-6 kali dalam minggu terakhir) melakukan hal-hal fisik dalam waktu luang mereka.

Hubungan antara depresi dan aktivitas fisik

Menggunakan produk saat uji korelasi Pearson pada data menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan (r = -0,82, p <0,001) antara CDI dan PAQ-A nilai. Korelasi yang tinggi diperoleh antara kedua variabel lanjut menghasilkan koefisien determinasi dari 0,67. Ini berarti bahwa 67% dari variasi total dalam depresi peserta dapat dijelaskan oleh hubungan linear antara depresi dan aktivitas fisik.

Individu dan sekolah faktor yang terkait dengan depresi dan aktivitas fisik yang rendah di kalangan remaja

Setelah mengidentifikasi bahwa ada beberapa remaja dengan gejala depresi dan aktivitas fisik yang rendah, kami lebih lanjut dilakukan regresi logistik bivariat untuk menentukan faktor-faktor yang secara bermakna terkait dengan dua masalah. Dua analisis regresi dilakukan. Yang pertama untuk semua remaja dengan gejala depresi ringan / sedang dan pasti merupakan 29,4% dari para peserta dan yang kedua bagi mereka dengan aktivitas fisik yang rendah (53,8%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa semua faktor individu dan sekolah secara signifikan terkait dengan depresi dan aktivitas fisik yang rendah setelah disesuaikan untuk usia dan / atau jenis kelamin (tabel 4). Kemungkinan gejala depresi memiliki berkurang lebih dari setengah (OR = 0,42, 95% CI 0,29-0,71 =) pada remaja yang sedang aktif ketika disesuaikan untuk usia dan jenis kelamin. OR juga menunjukkan risiko lebih tinggi mengalami gejala depresi pada remaja lebih tua dari remaja yang lebih muda (OR = 2,16, 95% CI 1,81-3,44 =) dan sama, para remaja yang lebih tua hampir dua kali lipat kemungkinan memiliki aktivitas fisik yang rendah daripada muda remaja (OR = 1,72, 95% CI 1,29-2,36 =). Para peserta perempuan memiliki kemungkinan tiga kali lebih memiliki gejala depresi (OR = 2,92, 95% CI 1,82-3,54 =) dan kegiatan fisik yang rendah (OR = 2,91, 95% CI 1,51-4,26 =) daripada laki-laki. Berada di sebuah sekolah swasta dan di kelas paling atas di sekolah menengah meningkatkan risiko depresi dan aktivitas fisik yang rendah ketika disesuaikan untuk usia dan jenis kelamin. Model akhir untuk setiap kegiatan depresi dan rendah fisik gabungan semua faktor yang secara statistik signifikan pada tingkat individu dan sekolah (tabel 5). Dalam model multivariabel akhir, diamati bahwa semua faktor signifikan pada tingkat individu dan sekolah untuk depresi tetap signifikan pada tingkat gabungan kecuali untuk jenis sekolah yang kehilangan maknanya (OR = 0,86, 95% CI 0,58-1,76 =). Juga dalam model, kombinasi dari kedua individu dan faktor sekolah lebih lanjut mengurangi kemungkinan memiliki depresi pada hubungan antara depresi dan aktivitas fisik sedang (tingkat individual) dan meningkatkan kekuatan (OR = 4,17, 95% CI 3,70-4,91 =) asosiasi antara depresi dan berada di SS3 (tingkat sekolah).


Tabel 4. Analisis bivariat kemungkinan depresi dan aktivitas fisik yang rendah

Tabel 5. Analisis multivariat menunjukkan risiko depresi dan aktivitas fisik yang rendah oleh faktor individu, faktor sekolah dan baik individu dan sekolah faktor
Diskusi

Temuan utama dari studi ini adalah (1) sekitar seperlima dari semua remaja melaporkan gejala depresi ringan sampai sedang, sementara lebih dari setengah dari mereka melaporkan tingkat rendah aktivitas fisik (2) ada hubungan terbalik yang signifikan antara skor depresi remaja dan skor aktivitas fisik mereka dengan aktivitas fisik sedang dihubungkan dengan risiko depresi yang lebih rendah (3) Kedua faktor individu dan sekolah yang terkait dengan depresi dan aktivitas fisik yang rendah, dengan menjadi lebih tua remaja, perempuan dan di kelas menengah yang paling senior memiliki signifikan hubungan dengan depresi dan aktivitas fisik yang rendah di kalangan remaja. Itu juga menemukan bahwa dibandingkan dengan sekolah umum, aktivitas fisik secara signifikan lebih rendah dan depresi secara signifikan lebih tinggi pada remaja menghadiri sekolah swasta.

Data prevalensi yang tepat dan tingkat depresi di kalangan remaja di Nigeria tampaknya cukup sedikit, tetapi prevalensi siswa mengalami gejala depresi parah dalam penelitian ini (5,7%) sangat mirip dengan yang dilaporkan oleh beberapa penelitian lain. Adewuya dkk [18] melaporkan prevalensi gangguan depresi utama dari 6,9% di antara kelompok remaja Nigeria dengan perempuan memiliki prevalensi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan laki-laki. Dalam sebuah studi untuk meneliti proporsi anak-anak dengan gangguan kejiwaan menghadiri perawatan primer dalam pengaturan Nigeria, Gureje dkk [19] juga melaporkan bahwa gangguan depresi hadir pada gangguan 6,0%, kecemasan yang berhubungan dengan gangguan pada 4,7%, dan perilaku dalam 6.1 % dari anak-anak.

Penelitian ini menemukan bahwa lebih dari setengah dari peserta benar-benar disajikan dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik menunjukkan bahwa remaja yang tidak terlibat dalam aktivitas fisik yang cukup yang dapat manfaat status kesehatan mental mereka. Menurut Departemen Kesehatan Pemerintah Australia dan Penuaan [20], remaja antara 12 dan 18 tahun harus terlibat dalam setidaknya 60 menit aktivitas fisik sedang hingga kuat setiap hari untuk tetap sehat. Namun, di mana anak-anak telah aktif, 30 menit aktivitas moderat per hari dianjurkan dan harus dibangun secara bertahap. Sebuah studi oleh Nikapota [21] melaporkan bahwa negara-negara berkembang tunduk pada perubahan-perubahan sosial-budaya dan politik yang cepat yang mempengaruhi gaya hidup anak-anak dan keluarga mereka dan karenanya fisik dan emosional mereka kesejahteraan. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja Nigeria sampel tidak cukup aktif. Prevalensi tinggi aktivitas fisik yang rendah serta prevalensi depresi terlihat dalam sampel mungkin menunjukkan hubungan antara depresi dan aktivitas fisik. Sebuah penelitian sebelumnya [22] menggambarkan latihan fisik sebagai sarana secara fisik aktif, telah mendokumentasikan hubungan antara latihan fisik dan depresi dengan melaporkan bahwa penarikan olahraga benar-benar menghasilkan simtomatologi depresi meningkat pada sehat, non-depresi individu.

Para remaja perempuan dalam penelitian ini memiliki skor depresi lebih tinggi dan lebih rendah skor aktivitas fisik dibandingkan dengan laki-laki. Mungkin ada banyak alasan untuk ini Namun, juga dapat menjadi indikasi hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dan depresi karena peserta perempuan dalam penelitian ini telah menunjukkan tingkat yang lebih rendah aktivitas fisik. Misalnya, program berbasis kelompok latihan fisik, yang dapat meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari atau hubungan sosial, telah diamati untuk meningkatkan tingkat kebugaran tidak hanya fisiologis tetapi juga keadaan depresi dan kondisi stres psikofisik peserta [8]. Berlin dkk [22] juga menemukan bahwa simtomatologi depresi lebih umum di kalangan menetap daripada individu aktif secara fisik. Kenyataan bahwa remaja perempuan dalam sampel kami memiliki skor depresi lebih tinggi baik yang diakui dan menegaskan laporan penelitian sebelumnya. Para remaja perempuan memiliki risiko hampir tiga kali lebih tinggi mengalami gejala depresi daripada laki-laki. Dalam studi oleh Adewuya dkk [18] pada remaja Nigeria, betina juga diamati memiliki prevalensi depresi yang lebih tinggi daripada anak laki-laki, tetapi penulis mengklaim bahwa tidak ada interaksi usia gender dalam temuan. Namun itu dilaporkan dalam studi sebelumnya yang anak laki-laki lebih berpartisipasi dalam kegiatan fisik dibandingkan anak perempuan, dan mungkin sebagai hasil dari hubungan antara aktivitas fisik dan depresi, lebih dari gadis-gadis daripada anak laki-laki melaporkan perasaan sedih, termasuk mempertimbangkan dan merencanakan bunuh diri [23 ].

Skor depresi yang lebih tinggi dan skor rendah aktivitas fisik terlihat pada remaja yang lebih tua dibandingkan dengan yang lebih muda dan di antara mereka di kelas yang lebih tinggi dibandingkan studi di kelas bawah. Diharapkan, usia siswa meningkat seiring kenaikan kelas mereka belajar dan kelas yang lebih tinggi dari studi menunjukkan beban kerja berat. Sebuah kombinasi dari beban kerja berat dan kecemasan trailing antisipasi ujian akhir yang akan datang di tingkat tertinggi pendidikan menengah bisa menempatkan peserta pada jadwal akademis yang ketat sehingga sulit bagi mereka untuk terlibat dalam kegiatan fisik bertujuan. Situasi yang sama juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis mereka membuat mereka hadir dengan skor depresi lebih tinggi. Ia juga mengamati bahwa remaja yang lebih tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala depresi dibandingkan remaja yang lebih muda saat berada di kelas paling atas lebih dari tiga kali lipat risiko mengalami gejala depresi dan meningkat lebih dari empat lipatan risiko memiliki aktivitas fisik rendah. Ini mungkin karena kelas tertinggi studi (SS3) diduduki terutama oleh remaja yang lebih tua yang kebetulan memiliki risiko lebih tinggi depresi dan kegiatan fisik yang rendah.

Sekitar sepertiga dari remaja baik di sekolah swasta dan publik ditemukan menetap untuk sebagian besar hari sementara keinginan bunuh diri dilaporkan sebelumnya menjadi sekitar 20% dan di atas dalam studi oleh Omigbodun et al [24] dan Daley dkk [ 25] adalah sekitar 9% dalam penelitian ini. Hal tersebut adalah penting untuk dicatat bahwa perbedaan dalam prevalensi keinginan bunuh diri dalam laporan ini dan bahwa dari Omigbodun dkk [24] yang juga disurvei sekelompok remaja Nigeria mungkin karena sejumlah alasan. Pertama, Omigbodun dkk [24] diukur perilaku bunuh diri dengan menggunakan Wawancara Diagnostik Jadwal untuk Anak (DISC) (Timbangan prediktif 432 - item 23-25) sedangkan observasi dalam penelitian ini adalah respon terhadap salah satu pertanyaan di CDI. Kedua, mereka melakukan studi mereka di kedua remaja perkotaan dan pedesaan, sementara penelitian ini adalah terbatas pada remaja perkotaan. Ketiga, mereka menganggap semua nilai di sekolah sementara hanya kelas senior dipertimbangkan dalam penelitian ini. Beberapa faktor psikososial seperti pelecehan seksual, serangan fisik dan keterlibatan dalam perkelahian fisik ditemukan menjadi prediktor yang signifikan dari perilaku bunuh diri di kalangan remaja Nigeria seperti dilansir Omigbodun et al [24]. Meskipun prevalensi yang lebih rendah dari keinginan bunuh diri tercatat dalam studi ini, ini adalah area layak penyelidikan penelitian lebih lanjut. Depresi telah dilaporkan menjadi prediktor yang paling penting dari bunuh diri, dan kegagalan untuk mengatasi depresi pada remaja dapat menyebabkan peningkatan kasus bunuh diri [26].

Koefisien determinasi menunjukkan bahwa variasi substansial dalam depresi pada remaja dapat dijelaskan oleh aktivitas fisik. Karena hubungan mungkin tidak kausal, variasi yang tersisa terlihat dalam depresi dari remaja dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini. Faktor-faktor ini mungkin termasuk status sosial ekonomi orang tua dan kehadiran co-morbiditas. Sebuah analisis sebelumnya penampang bagaimanapun, melaporkan hubungan antara aktivitas fisik dan depresi bahkan ketika penyesuaian dibuat untuk jumlah yang relatif besar variabel perancu potensial [7]. Asosiasi ini mungkin karena mungkin link antara aktivitas fisik dan depresi. Menurut Rothon dkk [10], tidak ada mekanisme yang jelas untuk hubungan antara aktivitas fisik dan depresi telah dibentuk, namun mekanisme biokimia, fisiologis dan psikologis telah diusulkan. Para penulis menyatakan bahwa salah satu penjelasan berkaitan dengan efek tidak langsung bahwa aktivitas fisik pada suasana hati dengan memberikan peningkatan peluang untuk interaksi sosial. Ini akan tepat untuk negara di sini Namun, bahwa hubungan yang ada antara aktivitas fisik dan depresi sebenarnya bisa dua arah. Seperti disajikan dalam studi ini bahwa depresi dikaitkan dengan aktivitas fisik yang rendah, juga masuk akal untuk aktivitas fisik yang rendah dihubungkan dengan depresi meningkat. Dalam review komprehensif dari penelitian yang diterbitkan pada berkorelasi aktivitas fisik pada anak-anak dan remaja, tingkat tinggi depresi secara konsisten dikaitkan dengan aktivitas fisik yang rendah pada remaja [27]. Penelitian ini tidak mampu mengatakan Namun apakah depresi mendahului aktivitas fisik atau aktivitas fisik mendahului depresi.

Studi ini menunjukkan bahwa remaja dengan aktivitas fisik sedang memiliki penurunan risiko memiliki depresi setelah penyesuaian untuk usia dan jenis kelamin. Dalam studi sebelumnya, itu juga menunjukkan bahwa rendahnya aktivitas fisik intensitas sedang merupakan faktor protektif terhadap depresi dan gejala psikotik pada remaja Tionghoa [6]. Namun, itu ditemukan dalam studi ini bahwa intensitas tinggi aktivitas fisik bukan faktor pelindung terhadap gangguan psikologis, melainkan sebuah faktor risiko untuk umum masalah kesehatan mental dan permusuhan. Dalam penelitian ini, aktivitas fisik yang tinggi mengurangi kemungkinan memiliki gejala depresi yang lebih parah dengan temuan tingkat tren (tidak signifikan) bahwa aktivitas fisik tinggi dikaitkan dengan penurunan risiko depresi.

Penelitian ini lebih lanjut menemukan bahwa remaja di sekolah swasta memiliki risiko lebih tinggi aktivitas fisik yang rendah daripada mereka di sekolah umum. Tidak ada laporan sebelumnya yang ditemukan pada variasi aktivitas fisik antara siswa sekolah swasta dan publik, tetapi diasumsikan bahwa perbedaan ini mungkin memiliki banyak hubungannya dengan latar belakang sosial ekonomi siswa. Ada kemungkinan bahwa siswa di sekolah-sekolah umum, hipotetis dari latar belakang sosial ekonomi rendah harus mengerahkan usaha lebih fisik dalam menjalankan rutinitas sehari-hari mereka. Ini mungkin termasuk trekking ke sekolah dan penggunaan kekuatan manual untuk tugas sehari-hari mereka bertentangan dengan kehidupan remaja dari latar belakang sosial ekonomi lebih tinggi yang berlimpah di sekolah-sekolah swasta. Hal ini dapat menjelaskan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dan depresi yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada siswa sekolah swasta.

Studi ini harus ditafsirkan dalam batas-batas, keterbatasan ruang lingkup dan kekuatan. Fakta bahwa penelitian ini adalah cross-sectional mencegah apapun kesimpulan dari kausalitas. Berbasis sekolah sifat studi ini juga berarti bahwa temuan tidak dapat digeneralisasi untuk remaja yang tidak bersekolah. Namun, selain menyediakan sebuah situs penelitian terorganisir, sekolah-sekolah juga dianggap sebagai jalan di mana isu depresi dan aktivitas fisik di kalangan remaja bisa efektif diperjuangkan. Menurut Grzywacz dan Fuqua [28] sekolah berada dalam posisi untuk mencegah masalah kesehatan masyarakat seperti depresi. Mode kita dari penilaian menggunakan kuesioner mungkin bukan metode yang paling tepat karena kemungkinan bias mengingat substansial terkait dengan laporan diri sendiri, namun, kuesioner telah menghasilkan penilaian yang dapat diandalkan konstruksi banyak. Menurut Corder dkk [29], metode laporan diri masih mungkin cara hanya layak untuk menilai aktivitas fisik dalam banyak situasi dan penting untuk menilai aspek kegiatan fisik tidak mudah diukur obyektif, seperti modus dan domain.

Hubungan ditemukan dalam penelitian ini tidak selalu kausal karena mungkin ada pembaur potensial lainnya dari depresi selain usia dan jenis kelamin bahwa studi ini tidak menyelidiki. Pembaur tersebut termasuk status kesehatan, harga diri dan status sosial ekonomi orang tua. Ada juga kemungkinan sisa perancu dalam penelitian ini yang mungkin karena kekurangan mungkin dalam penilaian kita atau fakta bahwa kita tidak mengukur beberapa pembaur lainnya outrightly. Penelitian lebih lanjut mungkin perlu untuk melihat bagaimana isu-isu seperti tingkat perawatan sekolah dan keluarga, motivasi dan peristiwa kehidupan yang serius akan berinteraksi dengan depresi dan aktivitas fisik remaja. Namun, semua analisis kami menunjukkan fakta bahwa mereka yang memiliki aktivitas fisik rendah memiliki tingkat lebih tinggi gejala depresi. Studi ini mengidentifikasi bahwa ada kebutuhan untuk lebih mengeksplorasi hubungan yang kompleks antara aktivitas fisik dan depresi di kalangan remaja Nigeria, seperti rekan-rekan mereka di negara-negara berkembang lainnya. Selanjutnya, penelitian ini akan memberikan dasar tambahan untuk menjelajahi aktivitas fisik sebagai terapi komplementer dalam intervensi untuk depresi di kalangan remaja diberikan rendah biaya dan peningkatan biaya perawatan kesehatan mental. Juga dari hasil penelitian ini, ada implikasi yang mendesak untuk review keputusan kebijakan pemerintah didasarkan pada kenyataan bahwa ada sejumlah besar remaja yang tidak aktif secara fisik dan karena fakta bahwa hampir 6% dari siswa mengalami cukup simtomatologi depresi parah.

Sebagai kesimpulan, hasil penelitian ini menunjukkan beban yang cukup besar dari kedua gejala ringan sampai sedang dan pasti depresi di samping tingkat umum dari aktivitas fisik yang rendah di kalangan remaja. Ada hubungan terbalik antara depresi dan aktivitas fisik dan kedua faktor individu dan sekolah terkait dengan depresi dan aktivitas fisik yang rendah. Menjadi seorang remaja yang lebih tua, seorang wanita dan di kelas menengah paling senior adalah kontributor utama untuk kedua depresi dan aktivitas fisik yang rendah di kalangan remaja. Untuk penelitian masa depan, kami menyarankan studi longitudinal untuk menjelaskan isu-isu kausal dan studi yang akan memeriksa kemungkinan efek aktivitas fisik antara sampel klinis remaja dengan depresi.

Bersaing kepentingan

Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan bersaing.
Penulis 'kontribusi

AFA terlibat dalam penyusunan konsep, desain, analisis statistik, interpretasi data, untuk mengedit isi intelektual dan persiapan naskah. Bintara terlibat dalam penyusunan konsep, pengumpulan data, pencarian literatur dan persiapan naskah. CYA terlibat dalam konseptualisasi, mengedit untuk konten intelektual dan persiapan naskah. Semua penulis membaca dan menyetujui naskah akhir.

Informasi Penulis

AFA adalah dosen di Departemen Fisioterapi, Universitas Ibadan dan Konsultan Klinis Kehormatan di Fisioterapi, University College Hospital, Ibadan, Oyo State, Nigeria. NCO adalah fisioterapis lulusan Departemen Fisioterapi, College of Medicine, University of Ibadan, Ibadan, Nigeria. CYA adalah registrar senior di Departemen Psikiatri, Rumah Sakit University College, Ibadan, Nigeria.

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada kepala sekolah, guru, orang tua dan siswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih yang tulus juga karena petugas dari Inspektorat Daerah Pendidikan di Area Pemerintah Lokal Ibadan Utara atas dukungan mereka.

 
cara menambah+ukuran+penis

plurk



Gie_Aff Copyright © 2009. Template created by Nadiar supported by Cara Beriklan di Internet